Bulukumba, Katatanahpapua.com – Dalam dinamika era post-truth dan kompleksitas globalisasi kesehatan, dua institusi pendidikan tinggi dari Sulawesi—Institut Agama Islam (IAI) Rawa Aopa Konawe Selatan dan STIKES Panrita Husada Bulukumba—mempertegas eksistensinya sebagai agents of knowledge dissemination lewat pelaksanaan International Collaborative Webinar bertajuk “Synergy of Health and Environmental Sustainability for the Future”, yang berlangsung pada 29–30 Juli 2025 secara daring melalui platform Zoom.
Lebih dari sekadar forum akademik, webinar ini menjadi panggung bagi academic cross-pollination, mempertemukan epistemologi kesehatan masyarakat dengan wacana lingkungan hidup yang berkelanjutan. Lima negara—Indonesia, Britania Raya, Malaysia, Thailand, dan Turki—terlibat dalam orkestrasi intelektual lintas budaya dan disiplin. Kolaborasi ini bukan hanya multidisciplinary, melainkan telah menapaki ranah transdisciplinary approach, di mana batas antara teori dan praktik, antara lokal dan global, melebur dalam satu bingkai intelektual.
Dalam dimensi akademik, kegiatan ini menyentuh isu-isu struktural dalam public health governance, health equity, hingga sustainable health policy formation. Para pembicara menguraikan bagaimana sistem kesehatan di negara berkembang kerap berhadapan dengan policy lag, ketimpangan distribusi layanan, serta minimnya integrasi antara kebijakan dan data berbasis bukti (evidence-based policymaking).
“Forum ini adalah ruang co-construction of knowledge. Bukan hanya transfer, tapi juga transformasi epistemik. Kita tidak sedang bicara seminar biasa, melainkan pembentukan epistemic community yang mampu mendefinisikan ulang arah kebijakan kesehatan yang inklusif dan ekologi-sensitif,” terang Dr. Ismail Suardi Wekke, Ph.D, Ketua Komite Saintifik sekaligus penggerak scientific diplomacy dari The Academia of Papua dan Southeast Asian Academic Mobility (SEAAM).
Webinar ini mempertemukan pakar lintas negara yang memiliki scholarly background mumpuni:
Prof. Dr. Christian Kaunert (University of South Wales, Britania Raya), yang membedah isu global health security dan pengaruh supranational policies di bidang kesehatan;
Prof. Dr. Onder Kutlu (Turki), yang menawarkan perspektif filosofis dalam sistem pelayanan kesehatan berbasis etika;
Prof. Madya. Ts. Dr. Roslan Bin Umar (UNISZA, Malaysia), dengan pendekatan eco-health dan technological innovation for sustainable well-being;
Prof. Dr. Muh Shakree Manyunuh (Fatoni University, Thailand), yang mengeksplorasi peran kearifan lokal dan indigenous knowledge system dalam struktur kebijakan kesehatan komunitas;
serta Dr. Muhammad Rashidin Bin Wahab, yang mengulas dimensi pedagogik dalam pengembangan pendidikan kesehatan berbasis budaya.
Indonesia juga menghadirkan tokoh-tokoh kunci:
Dr. Bery Juliandi (IPB), pakar neurobiologi yang menyinergikan kajian otak dengan dimensi psikososial pembangunan manusia;
Dr. Ujang Komarudin (KSP RI), yang menautkan kebijakan strategis nasional dengan pendekatan health-in-all-policies.
Dalam pidato pembukanya, Rektor STIKES Panrita Husada menyebut acara ini sebagai praktik nyata academic diplomacy dan global engagement, yang mengokohkan posisi perguruan tinggi daerah dalam ekosistem akademik internasional. “Ini adalah ruang peningkatan scientific literacy dan critical thinking skills, sekaligus media capacity building untuk dosen dan mahasiswa,” ujar sang rektor.
Kegiatan ini dibuka secara umum dengan kontribusi partisipatif sebesar Rp20.000, dilengkapi dengan e-certificate, jejaring ilmiah, akses pada literatur terbaru, serta peluang untuk mendapatkan insentif edukatif. Registrasi dibagi melalui jalur mahasiswa dan jalur dosen dengan platform digital terintegrasi.
Lebih jauh, kegiatan ini mencerminkan prinsip equity in access to knowledge. Kampus-kampus di daerah kini tidak lagi sekadar penerima arus informasi, tetapi telah menjadi knowledge hub—pusat gravitasi baru dalam ekosistem produksi dan diseminasi ilmu pengetahuan.
Webinar kolaboratif ini membuktikan bahwa literasi ilmiah, kolaborasi akademik lintas negara, dan kesadaran ekologis bukanlah kemewahan, melainkan kebutuhan mutlak dalam membentuk generasi akademisi yang resilient, adaptif, dan berorientasi masa depan. Dari ruang-ruang digital Sulawesi, lahir resonansi intelektual yang menjangkau peta global. (*)
Editor: Edy Basri
Tidak ada komentar